Selasa, 19 Juli 2011

KAWASAN HUTAN MANTAP SYARAT HUTAN LESTARI

"AIR SUMBER KEHIDUPAN MAKHLUK DI BUMI INI" meskipun terkadang
mendatangkan bencana ??!!!


Hutan menyimpan kekayaan sumberdaya alam yang tidak ternilai untuk kehidupan, tampak gambar di sisi kiri salah satu sumber air  kehidupan yang berada di salah satu kawasan hutan taman nasional di P.Jawa. Keberlangsungan sumber air ini sangat diharapkan oleh semua makhluk yang berada di sekitarnya baik flora, fauna dan manusia.  Oleh karena itu tidak ada alasan untuk melestarikan sumberdaya alam yang berada di dalam kawasan demi kemaslahatan umat manusia.



Kapan kawasan hutan mantap??? Ini penting sesungguhnya untuk bahan pemikiran karena terkait dengan visi dari Kementerian Kehutanan yaitu "Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan". Sebelumnya perlu saya sampaikan  arti kata "mantap", jika dilihat dari kamus Bahasa Indonesia adalah tidak ada gangguan. Atas dasar arti kata tersebut maka kawasan hutan yang mantap adalah kawasan hutan yang bebas dari konflik, nah tentunya itu adalah harapan dari kita semua. Berbicara tentang konflik kawasan hutan kita ini sarat dengan konflik baik itu pada hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan produksi. Penyelesaiannyapun seolah tidak kunjung berakhir. Hal ini bisa disebabkan karena (1) tipe ekosistem hutannya itu sendiri yang banyak ragamnya sehingga diperlukan pengelolaannya yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya, (2) belum terjaminnya kepastian kawasan hutan, keadaan ini bisa dilihat dari kawasan hutan belum semuanya dilakukan penetapan kawasan hutan, (3) konflik kepentingan. Kepentingan disini luas cakupannya, antara lain bisa konflik kepentingan antara generasi saat ini dan generasi yang akan datang, kepentingan antar sektor, kepentingan politis dan lain-lainnya.
     Oleh karena itu untuk mewujudkan kawasan hutan yang mantap tentunya yang pertama dan utama adalah bagaimana menyelesaikan konflik yang terjadi dalam pengelolaan hutan,  tentunya perlu diketahui dan dikenali lebih dahulu adalah situasi dan kondisi kawasan hutan secara menyeluruh dan akar permasalahannya.  Salah satu yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari adalah  kawasan hutan mantap  melalui pemantapan kawasan hutan seperti halnya yang menjadi tugas Balai Pemantapan Kawasan Hutan, salah satu Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Kehutanan. Kawasan hutan yang mantap berarti bebas dari konflik dan diakui dan diterima oleh semua pihak.
     Pemantapan kawasan hutan saat ini menjadi penting dan jika dilihat dari perkembangan kebijakan Kementerian Kehutanan pada Tahun 2010-2014 menjadi kebijakan prioritas pertama dari enam kebijakan prioritas, sedangkan pada tahun sebelumnya yaitu Tahun 2005-2009 pemantapan kawasan hutan merupakan kebijakan prioritas kelima. Jika diperhatikan maka kementerian kehutanan telah memiliki komitmen untuk berjuang membuat kawasan hutan mantap sejalan dengan visi penyelenggaraan pembangunan kehutanan. Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi dalam bidang pemantapan kawasan adalah memantapkan kepastian status kawasa hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan. Tujuannya meningkatkan kepastian kawasan hutan sebagai dasar penyiapan prakondisi pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Selain itu juga ditetapkan 8 program, satu diantaranya adalah program Perencanaan Makro Bidang Kehutanan dan Pemantapan Kawasan Hutan.
      Untuk itu  pemantapan kawasan hutan sebagai modal dasar menuju hutan yang lestari perlu didukung oleh pihak-pihak lain yang terkait. Terutama Balai Pemantapan Kawasan Hutan dengan tupoksinya yang baru tertuang dalam P.13/Menhut-II/2011 harus merapatkan barisan dan berjuang dengan semangat 45 untuk bisa dan mampu mengimplementasikan kegiatan-kegiatan secara berkualitas dan kuantitas tercapai.
      Hal yang perlu diperhatikan apa yang disampaikan di atas hanya sebagain kecil bagian dari pengelolaan kawasan hutan, aspek-aspek lain seperti pengelolaan potensi sumberdaya alam yang terkandung didalam kawasan hutan memiliki peran yang sangat penting untuk kelangsungan hidup umat manusia. Betapa tidak.! Kondisi ini dapat dilihat dari meningkatnya  bencana alam yang akhir-akhir ini tidak mengenal waktu dan tempat seperti banjir, tanah longsor, gagal panen, ancaman kekeringan, dll yang semua ini disebabkan karena kaidah konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara menyeluruh cenderung diabaikan. Untuk itu  prinsip yang seharusnya dipegang adalah pengelolaan kawasan hutan dengan memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan. 

Senin, 18 Juli 2011

DI BALIK GUNUNG MERBABU SEBAGAI SALAH SATU BENTENG TERAKHIR YANG PERLU DIPERHATIKAN

Satu sisi ekosistem 
TN Gunung Merbabu (2010)
Riwayatmu Gunung Merbabu
(Pengelolaan)

Gunung Merbabu yang nampak berdampingan dengan Gunung Merapi nampak tenang meskipun sudah berulang kali Gunung Merapi mengalami erupsi. Ketenangan Gunung Merbabu itu akankah terusik??? Hanya Illahi Robbi yang mutlak memegang rahasianya. Baiklah untuk mengenal Gunung Merbabu yang saat ini berfungsi sebagai kawasan konservasi, akan disajikan secara garis besar kronologisnya yang dapat dibagi menjadi 2 episode yaitu (1) era Zaman Belanda, (2) era Zaman Kemerdekaan.

1. Gunung Merbabu era Zaman Belanda
     Era zaman penjajahan yaitu pada zaman Belanda seputaran Tahun 1906 Gunung Merbabu tidak luput menjadi perhatian pemerintahan saat itu. Kenapa demikian? Mestinya sebagai Gunung yang nampak megah dan berwibawa itu pasti memiliki fungsi yang tidak kecil sebagai sistem penyangga kehidupan bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Selain itu, kondisi Gunung Merbabu saat itu juga memiliki kemampuan sebagai media untuk  laku keprihatinan dan juga kaya akan cerita-cerita yang seolah tidak masuk nalar yang sampai dengan saat ini masih terdengar di kalangan masyarakat.

Era tahun 1906. Kawasan Gunung Merbabu dengan segala isinya ditetapkan oleh pemerintah ketika itu  sebagai hutan larangan atau hutan tutupan. Jika ditinjau dari kata "larangan" atau "tutupan" masing-masing memiliki kata dasar "larang" dan "tutup". Larang artinya mahal, sehingga sebagai hutan larangan arti bahwa pada masa itu kawasan hutan Gunung Merbabu memiliki kekayaan sumberdaya alam yang bernilai tinggi baik ditinjau dari perannya sebagai fungsi ekologis maupun sosial budaya. Kemudian kata "tutup" berarti tidak diperkenankan masuk, ibarat sebuah swalayan kalau sudah ditutup artinya tidak diperkenankan para pembeli masuk. Nah berpijak pada hal ini maka sebagai hutan tutupan maka pada saat itu dilarang aktivitas manusia masuk ke dalam kawasan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Seperti diketahui bahwa kawasan hutan dikatakan lestari jika memenuhi syarat satu diantaranya adalah kepastian kawasan yang jelas. Kondisi ini diwujudkan dengan adanya tata batas yang diakui baik secara de facto maupun de yure. Oleh karena itu pada era tahun 1908 dilakukan penataan batas berdasarkan Berita Acara Tata Batas (Proces verbaal van grensregeling) pada kawasan hutan Gunung Merbabu yang termasuk pada wilayah Kedu meliputi Distrik Muntilan, Tegalrejo dan Muntilan (sesuai Grensproject kaart), demikian halnya kawasan hutan di wilayah Kebupaten Boyolali. Kawasan hutan  yang termasuk Kabupaten Semarang dilakukan penataan batas pada tahun 1915. Selanjutnya pengesahan tata batas kawasan dilaksanakan pada tahun 1930.

Sesuai dengan peta (Grensprojectkaart) saat itu luas kawasan hutan  Gunung Merbabu yang termasuk Kabupaten Magelang  seluas kl 1516 ha, Kabupaten Ampel 2229 ha, dan Kabupaten Semarang 1270 ha. Selain itu, di Kabupaten Semarang terdapat pemukiman yang berada di wilayah kawasan hutan sebagai "enclave". Enclave adalah lahan milik pihak ketiga (bukan kawasan hutan) yang berada di dalam kawasan hutan. Enclave yang berada di dalam kawasan hutan tersebut adalah enclave lelo dan enclave tekelan. Keberadaan enclave tersebut sampai saat ini telah berkembang berupa pemukiman berikut sarana prasarnanya.

2. Gunung Merbabu era Kemerdekaan
    Setelah Negara Indonesia mengalami kemerdekaan secara umum pengelolaan hutan di Indonesia mengalami perubahan tidak terkecuali Kawasan Hutan yang berada di komplek Gunung Merbabu. Pengelolaan pada masa itu dapat dibedakan menjadi 3 episode pengelolaan, yaitu pengelolaan oleh  Dinas Kehutanan ( 1959-1963), Pengelolaan oleh Perusahaan Negara (1963-2004), dan Pengelolaan oleh Kementerian Kehutanan (2004-saat ini).

2.1. Masa pengelolaan oleh Dinas Kehutanan (1959-1963)
       Saat itu kawasan hutan di komplek Gunung Merbabu dibawah pengelolaan  Dinas Kehutanan Tingkat II yaitu berada di dua wilayah yaitu Daerah Magelang dan Daerah Surakarta. Pihak pengelola sebenarnya memiliki niat untuk melakukan reboisasi, namun di sisi lain kehidupan secara politis kondisi masyarakat tidak menentu dan hutan merupakan salah satu sumber kehidupan guna mendukung kebutuhan hidupnya. Namun kondisi hutan secara umum semakin menurun kualitasnya, sehingga dipandang perlu untuk mengubah sistem pengelolaannya. Atas kondisi riil  maka pengelolaan hutan oleh Pemerintah diserahkan kepada pihak Perusahaan Negara yang dianggap mampu untuk mengelola lebih baik.

2.3. Masa Pengelolaan oleh BUMN (1963-2004)
 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1963 pemerintah menyerahkan pengelolaan hutan kepada Perusahaan Negara yaitu Perusahaan Negara (PN) Perhutani. Periode pengelolaan PN Perlangsung berlangsung selama 11 tahun (1963-1974). Nampaknya selama kurun waktu tersebut hasil pengelolaan kurang menunjukkan hasil yang memuaskan dari aspek ekonomis perusahaan. Oleh karena itu sesuai  Peraturan Pemerintah Nomor 76/Kpts/UM/2/1974 terjadi perubahan pengelolaan kawasan hutan menjadi Perusahaan Umum Perhutani. Pengelolaan hutan di kompleks Gunung Merbabu berada di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Magelang dan KPH Surakarta. Ditinjau dari kondisi tanaman pada masa itu tanaman hutan jati sudah mengalami penurunan kualitasnya karena lahannya yang semakin kritis.  Sehingga selain jati (Tectona grandis) dicoba beberapa tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi lahannya seperti Melaleuca leucadendron, Dalbergia latifolia. Namun demikian kenyataan berbeda, produksi dari jenis-jenis tanaman tersebut kurang menguntungkan perusahaan.
         Kebijakan dari perusahaan akhirnya memilih untuk mengembangkan kelas perusahaan Pinus merkusii tidak terkecuali pada KPH Magelang dan KPH Surakarta, tentunya tidak terlepas juga di komplek Gunung Merbabu. Dasar pertimbangannya adalah lebih menguntungkan dibanding dengan jenis tanaman lainnya dan cenderung lebih aman dari gangguan masyarakat setempat. Mulai saat itulah masyarakat setempat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan hutan komplek Gunung Merbabu yaitu pada penanaman Pinus merkusii dengan menggunakan sistem cemplongan. Masyarakat diberi kesempatan  memanfaatkan lahan di sela-sela tanaman pokok untuk menanam jenis tanaman sebagai kayu bakar dan rumput sebagai hijauan pakan ternak. Pelibatan masyarakat setempat berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Luas lahan garapan setiap orang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya masing-masing membuka lahan.  Potensi kawasan hutan Gunung Merbabu ternyata menyimpan keindahan alam yang memiliki daya tarik wisata, sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 580/Kpts/UM/9/1974 sebagian kawasan hutan lindung seluas 6,5 ha ditetapkan sebagai obyek wisata alam.
          Melihat sejarah pengelolaan kawasan hutan pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Direksi Nomor 1157/Kpts/Dir/1988 nama KPH Magelang dirubah menjadi KPH Kedu Utara. Ditinjau dari fungsi kawasan hutan Gunung Merbabu pada masa Perum Perhutani adalah sebagai Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan Hutan Wisata Alam. Sehingga pengelolaannya tidak hanya pada aspek konservasi dan sosial budaya saja tetapi ada kecenderungan lebih ditekankan pada aspek ekonomisnya. Hal ini bisa dilihat dari Pengelolanya  berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara yang orientasinya adalah profit. Selain itu juga bisa dilihat dari jenis tanaman yang cenderung didominasi oleh Pinus merkusii  yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan getahnya. Pemanfaatan getah dengan cara disadap saat itu dilakukan oleh masyarakat setempat, jadi dengan demikian juga memberikan lapangan pekerjaan.  Sesungguhnya jenis Pinus merkusii tersebut bukanlah jenis asli yang tumbuh di Gunung Merbabu. 

2.4. Masa Transisi
Masa transisi disini yang dimaksud adalah  suatu waktu yang menunjukkan suatu proses perubahan fungsi  kawasan hutan komplek Gunung Merbabu menjadi kawasan konservasi. Dimulai dari usulan yang disampaikan oleh Dirjen PHKA kepada Gubenur Jawa Tengah kemudian ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi bersama dengan Provinsi D.I. Yogyakarta atas undangan Gubernur DIY. Setelah itu proses secara adminitrasi terus mengalir antar lintas eselon I di lingkungan Departemen Kehutanan saat itu dengan instansi di lingkungan daerah. Selain itu didukung dengan rapat koordinasi, seminar, diskusi publik dll akhirnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 135/MENHUT-II/2004 secara de yure kawasan hutan Komplek Gunung Merbabu berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu. Fungsi kawasan hutan sebelum ditetapkan menjadi kawasan konservasi adalah hutan lindung dan taman wisata alam.
                 Meskipun demikian, masih banyak isu-isu berkembang di masyarakat terutama yang berada disekitar kawasan dan bahkan banyak terjadi penebangan illegal ketika belum ada kejelasan tentang pengelolanya. Isu yang cukup membuat aneh adalah pemahaman masyarakat tentang taman nasional, sebagian mereka menganggap kawasan Gunung Merbabu akan dibuat suatu taman dengan gemerlapan tamu dan lebih menyedihkan lagi mereka yang berada di kawasan enclave akan dilakukan "bedol desa".  Atas dasar hal itu tidak heran jika dibeberapa dusun terpampang tulisan yang pada prinsipnya menolak taman nasional.
          Meskipun sosialisasi telah dilakukan oleh instansi yang terkait, kondisi yang tergambar tersebut di atas itulah mencerminkan keberhasilan dari sosialisasi. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sosialisasi belum menyentuh kepada masyarakat sekitar kawasan, oleh karena itu perlu dilanjutkan secara berkesinambungan sehingga tumbuh rasa di masyarakat ikut handarbeni.
           Tentunya untuk mengawal apa yang menjadi tujuan perubahan fungsi tersebut yaitu untuk mewujudkan tiga pilar konservasi yaitu perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan perlu suatu wadah untuk meramu sumberdaya alam yang ada. Awalnya pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Saat itu sebagai dasar pengelolaan telah dilakukan penyususn RPTN Gunung Merbabu.Sejalan dengan proses dari waktu ke waktu antara lain melalui rapat koordinasi antara pihak Departemen Kehutanan, Instansi Pemerintah Daerah, dan Perum Perhutani dan diikuti dengan proses administrasi pada tahun 2006 melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Guna mendukung pengelolaan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.P.03/Menhut-II/2007 ditetapkan bahwa pengelolaan diserahkan kepada Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA  yaitu Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) dengan Tipe B yang mencakup dua seksi wilayah.


2.5. Masa Pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu
Langkah awal sebagai dasar pengelolaan yang ditempuh oleh Departemen Kehutanan cq Balai TNGMb antara lain kepastian kawasan dan sarana prasarana pendukungnya. Tindak lanjutnya adalah membentuk Tim Kecil dengan tugas pokok tentunya menginventarisis aset yang menyangkut tentang kegiatan di kawasan hutan komplek Gunung Merbabu baik .Melalui beberapa tahapan koordinasi dengan pihak terkait pengelolaan kawasan komplek Gunung Merbabu sepenuhnya diserahkan kepada pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu yang tidak diikuti oleh sumberdaya manusianya.
        Faktor yang sangat penting sebagai dasar pengelolaan adalah sistem pengelolaannya itu sendiri. Sesuai dengan Undang-Undang yang ada sistem zonasi merupakan andalan dalam pengelolaan TNGMb. Zonasi pada prinsipnya adalah pengaturan ruang di dalam kawasan TNGMb menjadi zona-zona sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pembagian zonasi ini tentunya harus mengacu pada ketentuan yang berlaku sebagai dasar hukumnya antara lainUndang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 68  tahun 1998 dan  Keputusan Menteri Kahutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006. Hasil kajian potensi SDA zonasi TNGMb terdiri dari zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi, zona rehabilitasi khusus, dan zona pemanfaatan wisata alam, zona budaya dan zona tradisional untuk mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar kawasan untuk memanfaatkan SDA tanpa mengabaikan aspek2 konservasi. Harapannya adalah tiga pilar konservasi yang menjadi tujuan pengelolaan TNGMb dapat terwujud. Semoga....Amin.